Sabtu, 03 Juli 2010
POLEMIK BANGSA BESAR (INDONESIA)
POLEMIK BANGSA BESAR (INDONESIA)
Berbicara politik dan ngomong berkoar masalah gejolak gerakan bangsa akan terbentur dengan tajamnya serangan balik dari upaya-upaya lain yang mencoba ingin ikut andil menjadi yang nomor wahid. Kenapa demikian, hal ini sudah sepantasnya ada karena setiap sebab ada akibatnya, kata semua orang yang menjadi pemikir. Dari rentetan sejarah bangsa Indonesia dari dekade demi dekade, bangsa ini sudah kenyang dengan penderitaan - rakyatnya (red), sehingga bagaimanapun caranya mengisi kemerdekaan yang ada adalah gejolak demi gejolak yang selalu mengiringi. Kurang rame rasanya bila waktu kemerdekaan tidak diisi dengan hujat menghujat, demo, orasi dan semua hal yang berbau pembenaran dan hak. Setiap penjajahan di dunia akan meninggalkan luka demi luka yang tidak akan pulih sampai ratusan tahun ke depan. Tidak ada penjajah yang berhati baik, namun banyak penjajah tetap akan menuangkan ide dan argumennya terhadap bangsanya sendiri sehingga mereka juga akan berfikir bagaimana bila sebaliknya dialah yang dijajah. Sehingga bentuk dari sanggahan mereka adalah mereka juga ikut membesarkan bangsa yang dijajahnya dengan usaha-saha yang konkrit maupun berupa perubahan-perubahan yang ikut membantu pola fikir masyarakat jajahannya.
Kita sudah merdeka sekarang, produk-produk hasil karya penjajah masih ikut tertinggal dan bahkan masih menjadi tolak ukur untuk memajukan negara. Yah memang berat menjadi diri sendiri, masyarakat dan bangsa sudah mengalami pahit getirnya keadaan. Bagaimana sulitnya hidup menghidupi keluarga dan anak-anak mereka. Mencerdaskan buah hati mereka dengan berbagai kondisi dari yang naiknya cabe sampai naiknya daging bahkan ‘naiknya bapak di atas ibu sehingga muncul lagi adiknya si Upin’. Disertainya menumpuknya keinginan demi keinginan untuk menikmati hidup enak, makan enak, tidur nyaman ‘ngorok’, punya uang bisa beli apapun yang diinginkan. Naluri masyakat hasil karya penjajah masih muncul bahkan jauh sebelum penjajah datang yaitu jamannya kerajaan. Upeti-upeti dan tumpukan suap menyuap sudah istiqomah seperti aliran darah sampai sekarang; pajak, PPn, pungli dan apapun namanya selalu menyusup pada urat nadi perekonomian. Dan tingkatan sosial masih kental pada sebagian masyarakat yang ada walaupun sudah banyak bergeser oleh rodanya jaman. Sehingga lahirlah yang namanya masyarakat hedonis desentralis, masyarakat yang luntur secara perlahan topangan ilmu dan nilai religi karena faktor lemahnya hubungan, lemahnya aturan dan lemahnya pemenuhan perut keluarga mereka.
Berjuang meneruskan hidup di dunia adalah nyata, berjuang melanjutkan harapan akherat adalah semu. Mengapa demikian, itu semua adalah bentuk dari tataran peradaban. Setiap perubahan kepemimpinan baik yang umaro maupun untuk kepentingan umat oleh Tuhannya; nabi, rosul, wali dan orang alim, akan memunculkan dua buah telapak tangan dengan warna yang berbeda, ibarat langit dan bumi, jiwa dan raga, siang dan malam. Satu sisi adalah iblis dan sisi yang lain adalah malaikat, dan itu sudah ada sejak jaman ini timbul. Namun berangkat dari itu, bagaimanakah seorang anak manusia dengan maqom yang biasa bisa menjadi sempurna, sempurna dalam menerjemahkan makna dari Tuhannya, sempurna dalam sosialisasi dengan lingkungannya sempurna dalam hubungan lawan jenis dan sempurna dalam menjadi pemimpin umat dan bangsa serta sempurna menjadi kholifah Allah. Adalah samar bila itu digulirkan, karena kehendak Tuhan tidaklah sama dengan keinginan seorang Presiden, DPR ataupun rakyatnya. Kehendak Tuhan adalah satu kehancuran umat atau kemaslahatan umat. Sementara kehendak rakyat adalah hidup tentram, bisa mencari nafkah dengan tenang, ekonomi terjangkau. Kehendak seorang Presiden bisa dikenang sepanjang sejarah sebagai pemimpin yang sukses mengayomi rakyatnya. Kehendak DPR tidak mau dinilai pemerintah dan jadi tolak ukur pemulihan dan pembuat hukum masyarakat setelah hukum Tuhannya dan sebagainya gambaran-gambaran pikiran dan ambisi.
Banyak harapan bangsa dimunculkan untuk kemakmuran semuanya, kemakmuran segala kewajiban dan hak rakyat, kemakmuran mengisi nilai demokrasi, kemakmuran memperjuangkan nasib semua elemen masyarakat, kemakmuran dalam segala aspek pada tataran masyarakat menuju masyarakat yang madani (Islam), modern dan beradab.
Sejalan dengan itu semua, sampai saat ini kita sudah banyak mengalami pasang surutnya keadaan pada kemerdekaan, era orde baru (orasi depak bicara remuk), era reformasi (rentetan forum koalisi) dan entah era apa lagi yang akan muncul, mungkin era Srimulat atau Tukul Arawana. Banyak keadaan yang membingungkan dan tidak manusiawi. Keadaan yang indah saat semua orang menerima nikmatnya imbalan bila sedang kampanye partai. Padahal yang ikut konvoi di jalan adalah orang itu-itu saja. Ya ikut partai ini, partai itu dan partai-partai yang lainnya. Asal dapat uang saku dan bensin langsung turun jalan sorak-sorai bersama, padahal nama calon Bupatinya saja ndak tahu. Janji-janji calon pemimpin Negara disampaikan manis semanis wajahnya Jupe dan itulah sekelumit wajah birokrasi. Pada sisi yang lain bisa disaksikan kemajuan teknologi informasi dan bisnis, semua dibisniskan dari barang pecah belah sampai barangnya wanita diperjual belikan seperti kacang goreng. Dari perdagangan illegal sampai perdagangan bebas, bebas berdagang menjual produk luar dengan nyaman dan mudah. Begitu ramainya kemajuan era reformasi mendominasi wajah-wajah yang haus akan kecerdasan dan pembenaran sendiri. Semua saling beragumen, semua menuangkan ide dan ambisi untuk jadi sorotan pers. Sehingga semua mengkambinghitamkan atas nama rakyat, padahal yang namanya rakyat itu siapa. Dan yang harus diperhatikan siapa. Ada hal heboh lagi, yang sudah terkenal kepengin lebih terkenal dan mampu dalam segala bidang yang artis pingin jadi pejabat, yang pejabat banyak mengoleksi artis, yang ulama pingin jadi selebritis, yang selebritis jadi selir ulama. Yang teroris menyamar jendral yang jendral jotosan kaya teroris. Setidaknya antara kebutuhan hati dengan kebutuhan finansial, perut dan dibawah perut berkecamuk dan saling melengkapi, tetapi harkat dan martabat masih ditutupi. Hanya Tuhan yang masih menutup aib-aib mereka semua sehingga masih diperhatikan banyak orang. Bila hal itu hilang hanya nasi yang sudah menjadi bubur yang bisa disaksikan. Banyak orang akan bingung mencari jati dirinya karena figur-figur panutan mereka telah hilang dari pandangan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengingat akan jasa-jasa pahlawannya, karena bangsa yang besar terwujud oleh semangat-semangat para pencetus dan pemikir birokrasi yang sebenarnya. Sebenarnya memperjuangkan nasib para rakyatnya dari kelaparan, kesusahan dan dari sifat tamak orang-orang yang berambisi secara pribadi. Sulit sekali mencari wajah para pahlawan pada era reformasi sekarang. Apakah memang sudah sangat maju jamannya sehingga sulit menemukan sebuah pola fikir mengayomi pada diri insan setiap warga Negara, atau bagaimana?. Di setiap lini dan institusi sudah penat dengan yang namanya hujat menghujat, suap menyuap, korupsi. Ambisi pribadi, kelompok, partai dan banyak macam ragam politik praktis dikemas dengan asyik sehingga pers bisa mempermainkan atau dipermainkan dengan seenaknya. Ada masalah menyangkut orang hebat dialihkan dengan masalah lain. Ada masalah dewan jendral terungkap atau diungkap, kasus century raib. Ada masalah yang urgen harus diselasaikan dialihkan dengan konflik yang lain. Sebetulnya banyak masyarakat kita yang sudah kenyang dengan hal demikian. Namun yang namanya “uang” adalah rajanya otak. Siapa punya uang apapun bisa dibeli. Dari membeli hewan piaraan sampai membeli orang untuk diperas keringatnya.
Saudara sebangsa dan setanah air, marilah kita tersadar dari keadaan semua itu. Berangkatlah dengan niat yang baik meneruskan cita-cita para pahlawan dulu. Dulu mereka dijajah, mereka berjuang untuk bisa merdeka dengan darah dan airmata mereka. Setelah merdeka juga banyak orang yang meneruskan nilai kepahlawanan dengan bekerja keras mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Setelah maju lalu bagaimana lagi? Kita isi dengan mempertahankan etika dan budaya bangsa supaya tidak luntur tercampur dengan budaya lain yang merusak. Setelah itu kita benahi lagi menjadi masyarakat yang modern, madani dan damai. Modern dalam mengatasi setiap konflik di segala bidang tentunya dengan pemikiran yang demokrasi yang harus selalu dikedepankan di semua sektor dan departemen, di semua lembaga legislatif dan eksekutif dan di semua jajaran masyarakat. Madani dalam artian kemajemukan ekosistem agamis di Indonesia. Dengan prularisme agama yang ada bukan menjadi halangan untuk tetap satu tujuan demi kemakmuran Negara. Damai dalam hal menuangkan ide dan kritik membangun. Buang asumsi-asumsi bodoh yang terperangkap dengan pintarnya bangsa lain untuk merekrut kesenjangan bernegara. Bila hal itu semua bisa diresapi oleh para pejabat Negara diteruskan ke khalayak umat, maka tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi bangsa yang besar dengan ragam polemik bangsa yang mampu diterjemahkan dalam setiap forum dengan mencapai satu tujuan kesepakatan bersama. Kalau itu semua berjalan lengkaplah arti semua sila yang ada di Pancasila dan bukan omong kosong belaka, sampai kapankah ini akan tercapai??. Jawabnya adalah pada siapakah yang akan memimpin Negara ini dengan tolak ukur yang demikian!!!.
Sebuah teka-teki besar ada pada setiap benak masyarakat kita. Yang kita lihat bersama sampai sekarang semua terbuai dengan dorongan IT yang membodohkan, terbuai dengan hiburan murahan yang melemahkan daya intuisi untuk menganalisa kedewasaan. Terbuai dengan hidup modern serba kecukupan dan mampu membeli apapun yang bisa dibeli. Berbondong-bondong mencari sesuap nasi ke negeri orang dengan menelantarkan anak-anak mereka. Menuangkan ambisi bisnis mereka seluas-luasnya semua dituangkan dalam bentuk bisnis dan infotaimen. Glamour dan memabukkan. Inilah sebetulnya kiamat yang dijanjikan atau dirumuskan Allah bahwa suatu zaman akan menenggelamkan seisi bumi bilamana ilmu sudah dibuka selebar-lebarnya, sehingga manusia akan takjub dengan kehedonisan dan kesenangan serta melupakan sang pencipta. Saatnya anugrah Allah jadi murka yang luar biasa. Apalah yang akan mampu menerjangnya saat itu terjadi??? Kemajuan IT, kecanggihan pola fikir atau apa??. Semua takkan ada guna bila telah datang azab menerjang alam.
Saudara sebangsa dan setanah air, marilah kita berdoa bersama untuk keselamatan bangsa ini, apapun bentuknya kita hidup di Indonesia susah dan senang akan selalu kita hadapi. Disinilah kita meneruskan hidup untuk membesarkan buah hati kita dan meneruskan cita-cita kita yang tertunda. Apa yang akan kita banggakan dan ceritakan ke anak cucu kita bila bangsa yang besar ini tumbang karena ulah kita sendiri. Sungguh menyedihkan menyaksikan anak cucu kita terlantar menjadi manusia yang kurang berguna bagi diri dan negaranya. Tentunya bukanlah hal demikian yang akan kita temukan dan kita harapkan ke depan. Adalah masa depan yang baik semoga selalu mengiringi bangsa yang besar ini. Kita tidak akan mampu bertahan hidup sampai ratusan tahun. Generasi dan generasi akan tumbuh saling menggantikan satu sama lain. Dan generasi yang selalu naik dalam segala hal yang harus kita upayakan bersama bukannya generasi yang broken home, arogan dan tidak manusiawi yang kita harapkan.
Sadarkan diri kita semua secepatnya, demi kelangsungan bangsa yang sudah besar ini, marilah duduk sebagai masyarakat humanis yang peduli kepada sesama demi kelangsungan bangsa ini ke depan. Subhanallah kita masih menjadi bangsa Indonesia bangsa yang mampu menjadi pribadi yang damai, semoga bangsa ini akan tetap baldatun thoyibatun wa rabbun ghofur sepanjang zaman… Amien.
Salam…
Penulis
Sison Garichu (Muhshonu Rohman, ST)
Pengajar SMK Ma’arif 1 Kroya - Cilacap
ghostnaruto33@yahoo.co
0 Komentar Untuk “POLEMIK BANGSA BESAR (INDONESIA)”
Posting Komentar
Berikan komentar positif tentang artikel yang sederhana ini niscaya sobat akan mendapatkan balasannya. Hehehe